Kamis, 09 Juli 2015

Kisah di balik lagu "It Is Well With My Soul"

‘IT IS WELL WITH MY SOUL’ (Nyamanlah Jiwaku)  (Horatio Gates Spafford, 1828-1888)

‘IT IS WELL WITH MY SOUL’ (NYAMANLAH JIWAKU) (HORATIO GATES SPAFFORD, 1828-1888)

Published On Desember, 14 2012 | By David
            Lagu ini ditulis oleh seorang Kristen penganut Presbytarian bernamaHoratio Gates Spafford. Spafford lahir di North Troy, New York pada tanggal 20 Oktober 1828. Pada masa mudanya, Spafford adalah seorang praktisi hukum (pengacara) yang sukses di Chicago.
            Akhir 1860-an kehidupan Horatio G. Spafford dan istrinya, Annasangat baik dan diberkati. Mereka tinggal di pinggiran kota sisi utara Chicago dengan lima anak mereka :Annie, Maggie, Bessie, Tanetta danHoratio Junior. Mereka memiliki segalanya yang diinginkan manusia di dunia. Seiring dengan kesuksesannya di bidang keuangan, ia juga sangat tertarik dengan kegiatan Kristiani. Pintu rumah Spafford selalu terbuka sebagai tempat bagi para aktivis Kristiani untuk pertemuan gerakan reformasi waktu itu.
            Horatio G. Spafford cukup aktif dalam gerakan Abolisionis (Abolisionis merupakan gerakan penghapusan hukuman mati yang muncul pada tahun 1767. Gerakan itu terinspirasi esai ‘On Crimes dan Punishment’ yang ditulis Cesare Beccaria). Spafford juga membina hubungan baik dengan Dwight L. Moody dan penginjil-penginjil lain pada masa itu, bahkan sering bertamu ke rumah mereka. Spafford adalah seorang penatua gereja Presbyterian dan Kristen yang berdedikasi. George Stebbins menggambarkan Spafford sebagai ‘seorang dengan kepandaiannya yang luar biasa, berbudi luhur, musisi rohani terkemuka dan tekun dalam mempelajari Alkitab’.
TERCIPTANYA LAGU KARENA MUSIBAH
            Pada tahun 1870 iman mereka diuji oleh tragedi. Anak laki-laki mereka, yang berumur empat tahun, Horatio Junior, meninggal dunia karena demam berdarah. Tidak hanya sampai di situ saja tragedi yang dialami. Beberapa bulan sebelum kebakaran besar di Chicago tahun 1871, Spafford menginvestasikan modal yang cukup besar untuk usaha real estate di pinggiran danau Michigan, tapi semua investasinya tersapu habis oleh bencana tersebut. Tercatat ada 250 orang meninggal di lalap jago merah tersebut dan 90.000 orang kehilangan tempat tinggal. Meskipun menderita kerugian sangat banyak, mereka menjadi tenaga sukarela membantu proses evakuasi para korban.
            Karena ingin menghibur keluarganya sekaligus berpartisipasi dalam program kebangunan rohaniD.L.Moody dan Ira D.Sankey di Inggris, maka Spafford merencanakan perjalanan ke Eropa bersama keluarga pada bulan November 1873. Namun karena masih ada urusan pekerjaannya di Chicago, Spafford tidak berangkat bersama dengan keluarganya. Sekali pun demikian ia tetap bahagia karena istri dan keempat anaknya itu pergi bersama-sama dengan orang-orang Kristen lainnya. Ia telah memutuskan akan menyusul menemui mereka kemudian di Perancis. Ia minta kepada istri dan keempat anak perempuannya untuk berangkat lebih dulu dengan kapal SS Ville du Havre. Saat itu Kapal S.S. Ville du Havre adalah sebuah kapal layar samudera milik maskapai pelayaran Perancis, yang merupakan kapal paling mewah yang berlayar dari pelabuhan New York.
            Pada tanggal 22 November 1873 pukul 2 dini hari, saat kapal pesiar mewah ini sudah berlayar beberapa hari lamanya di atas laut yang tenang, sebuah kapal besi berbendera Inggris bernama Lochearn menabraknya. Akibatnya dalam waktu dua jam Ville du Havre, salah satu kapal terbesar yang pernah ada pada waktu itu, tenggelam ke dasar samudera Atlantik beserta 226 penumpangnya termasuk keluarga Spafford. Sembilan hari kemudian korban yang selamat dari kapal itu tiba di pulau Cardiff, Wales, Inggris dan di antara mereka terdapat Nyonya Spafford. Dia mengabarkan melalui telegram kepada suaminya dengan dua kata, ‘saved alone’ (hanya aku yang selamat).
            Bagaimanakah reaksi Spafford ketika mendengar berita buruk tersebut ? Mengingat peristiwa inii merupakan tragedi yang kedua baginya. Yang pertama, ia baru saja mengalami kerugian usahanya akibat dari kebakaran besar di Chicago. Yang kedua, ia kehilangan keempat anaknya. (Buku Story Behind The Song terbitan Yis Production menjelaskan lengkap berikut foto-fotonya).
            Dengan kapal pertama di bulan Desember pada tahun yang sama, Spafford berangkat untuk menyusul istrinya ke Eropa. Di dalam perjalanan itu, kapten dari kapal yang ditumpanginya memanggil Spafford ke dalam kabinnya dan mengatakan bahwa saat itu kapal sedang berada di daerah di mana Ville du Havre tenggelam. Kebetulan malam itu Spafford sangat sulit untuk memejamkan matanya. Di tengah laut tersebut, ia minta kepada kapten kapal yang ditumpanginya untuk berhenti sebentar. Dengan memuji Tuhan, di tengah Samudera Atlantik, saat kesedihan dan kepedihan terasa di dalam hatinya, Spafford menuliskan lima stanza (bait/ayat) lagu yang salah satunya berbunyi : “When peace like a river attendeth my way, When sorrows like sea-bellows roll, Whatever my lot, Thou has taught me to say, ‘It is well, it is well with my soul!’ Begitulah Spafford mendapat        kata-kata lagu ‘It Is Well With My Soul’ yang kini sudah diterjemahkan menjadi ‘Nyamanlah Jiwaku’.
            Lirik yang ditulisnya ini merupakan ungkapan perasaannya. Hal itu terlihat dari syair lagu yang didapat di kapal tersebut. Spafford tidak menumpahkan kedukaannya, tapi lebih pada pengampunan yang sudah dilakukan Kristus dan pengharapan akan kedatanganNya yang kedua. Di bait pertama dan kedua masih disebutnya rasa sedihnya dengan kata-kata ‘dan walau derita penuh’ (walau kesusahan menimpaku ‘Whatever my lot’) dan ‘kendati pun susah terus menekan’, tetapi di bait ketiga sudah diserukan ‘dan aku lepas’, dan di bait keempat bahkan ia menunjuk ke masa kedatangan Kristus kelak dan ia mencatat ‘pabila serunai berbunyi gegap, ku seru : S’lamatlah jiwaku!’ Ia tidak mau jiwanya tertindas oleh kesedihan. Secara manusiawi, sulit dipercaya bahwa di tengah-tengah rasa dukanya yang mendalam, Spafford sanggup mengatakan, ‘S’lamatlah jiwaku’ atau yang diterjemahkan sebagai ‘Nyamanlah jiwaku’. Setelah mereka bertemu beberapa minggu kemudian Nyonya Spafford mengatakan bahwa dia tidak sedang kehilangan anak-anaknya, melainkan hanya berpisah untuk beberapa waktu lamanya.
PHILIP P. BLISS MENULIS MELODINYA
           Beberapa waktu kemudian dengan bantuan Philip Paul Bliss (1838-1876), seorang pemimpin pujian dan komposer, rekan pelayanan Spafford dalam suatu komunitas Kristen di Chicago, stanza-stanza yang dibuat oleh Spafford itu digubahkan musiknya sehingga menjadi suatu lagu. Philip Bliss bergabung dengan penginjil legendaris D.W. Whittle dan D.L. Moody sebagai direktur musik di pusat pelayanan di Chicago. Ia begitu terkesan dengan syair ‘It Is Well With My Soul’ yang ditulis berdasarkan pengalaman Spafford, lalu tanpa kesulitan ia mendapat inspirasi untuk menulis melodi dari lagu tersebut. Pada hari terakhir bulan November 1876 dalam sebuah ibadah di Farwell Hall, Chicago yang dihadiri oleh ribuan jemaat, Phillip Paul Bliss secara resmi memperkenalkan lagu ‘It Is  Well With My Soul’ sebagai lagu hymne.
           Sebulan kemudian, kira-kira dalam bulan Desember 1876, pasangan suami istri Bliss bepergian dengan kereta api Pacific Express dari Buffalo, New York menuju Chicago untuk suatu pelayanan. Dalam perjalanan di wilayah Ohio kereta api yang ditumpangi oleh pasangan suami istri Bliss itu melewati sebuah jembatan penyeberangan. Tiba-tiba saja jembatan tersebut runtuh ke sungai yang  beku dengan es yang ada di bawahnya. Kereta api yang jatuh bersama dengan jembatan penyeberangan tersebut terbakar. Akibatnya, penumpang yang berusaha menyelamatkan diri, tewas.
           Dari 160 orang penumpang, 14 orang dinyatakan selamat dan hanya 59 jenazah saja yang dapat dikenali. Berdasarkan pencarian intensif yang dilakukan oleh para sahabatnya, pasangan suami istri Bliss dinyatakan termasuk dalam korban tewas yang tidak didapat dikenali lagi jenazahnya.
RENUNGAN
            Dua peristiwa di atas menyatakan tidak ada makam bagi mereka yang tewas itu di dunia ini, baik anak-anak Spafford yang tenggelam di Samudera Atlantik dan pasangan Bliss di dalam kecelakaan di Ohio. Akan tetapi lagu hymne mereka dapat terus hidup di hati orang-orang percaya sepanjang jaman yang dengan sukacita penuh kemenangan berkata : “It is well with my soul”.
            Dari dua keluarga ini, Spafford dan Bliss, hari ini kita mendapat pelajaran mengenai sikap hati yang pasrah dan iman yang murni. Kita memang tidak tahu akan sekuat apakah diri kita saat Tuhan mengijinkan kita berhadapan dengan realita yang sangat menyedihkan itu. Yang terpenting dari semua itu adalah bagaimanakah respon kita ketika semua yang kita miliki dan kasihi diambil daripada kita ? Melalui lagu hymne ‘It Is Well With My Soul’ karya Spafford dan Bliss ini, kita diingatkan betapa nyaman jiwa kita sesungguhnya, jika berada di dalam Tuhan yang sudah mati dan bangkit bagi kita. (Sumber : Praise #14).
Lirik & Chor Lagu ini dapat dilihat di SONGS
IT IS WELL WITH MY SOUL

  1. When peace, like a river, attendeth my way,
    When sorrows like sea billows roll;
    Whatever my lot, Thou has taught me to say,
    It is well, it is well, with my soul.
Refrain:
It is well, with my soul,
It is well, it is well, with my soul.
  1. Though Satan should buffet, though trials should come,
    Let this blest assurance control,
    That Christ has regarded my helpless estate,
    And hath shed His own blood for my soul.
  2. My sin, oh, the bliss of this glorious thought!
    My sin, not in part but the whole,
    Is nailed to the cross, and I bear it no more,
    Praise the Lord, praise the Lord, O my soul!
  3. For me, be it Christ, be it Christ hence to live:
    If Jordan above me shall roll,
    No pang shall be mine, for in death as in life
    Thou wilt whisper Thy peace to my soul.
  4. But, Lord, ’tis for Thee, for Thy coming we wait,
    The sky, not the grave, is our goal;
    Oh, trump of the angel! Oh, voice of the Lord!
    Blessed hope, blessed rest of my soul!
  5. And Lord, haste the day when my faith shall be sight,
    The clouds be rolled back as a scroll;
    The trump shall resound, and the Lord shall descend,
    Even so, it is well with my soul.

NYAMANLAH JIWAKU
Verse 1
Bila damai mengiring jalan hidupku
Rasa aman di hatiku
Dan kesusahan menimpaku
Tlah Kau ajarku mengingat firmanMu
Reff:
Nyamanlah jiwaku
Nyamanlah, nyamanlah jiwaku
Verse 2
Dalam pergumulan dan perncobaan
Kristus membrikan jaminan
Dan mempedulikan kepapaanku
DarahNya membasuh jiwaku
(back to Reff)
Verse 3
Tuhan lekaskanlah harinya tib
Imanpun akan tampaklah
Dan sangkakala pun akan berbunyi
Tuhan akan turun ke bumi
(back to Reff)

Kisah Nyata Di Balik Lagu “Amazing Grace” (Lagu “Ajaib Benar Anugerah” dalam Kidung Jemaat No. 40)


Tahun 2006 lalu sebuah film Hollywood, "Amazing Grace" dirilis di Amerika Serikat, Inggris dan Irlandia. Pemutaran di Republik Irlandia diadakan di Buncrana, di tepi Lough Swilly di wilayah Donegal.  Film itu memaparkan kisah William Wilberforce seorang politikus muda Inggris yang berjuang untuk menghapus perdagangan budak di Inggris.

Soundtrack lagu film tersebut adalah “Amazing Grace”. Pernah dengar lagu “Amazing Grace”? Ini sebuah lagu terkenal yang syairnya cukup akrab di telinga orang Kristen. Lagu ini sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia, setidaknya sebagai gubahan. Lagu “Ajaib Benar Anugerah” dalam Kidung Jemaat No. 40 merupakan salah satunya.

"Amazing Grace" adalah sebuah himne Kristen, liriknya ditulis oleh penyair Inggris yang juga seorang pendeta; John Newton (1725-1807), diterbitkan pada 1779. Dengan pesan bahwa hanya  pengampunan dan penebusan yang memungkinkan  orang terlepas dari dosa-dosa  dan bahwa jiwa dapat dibebaskan dari keputusasaan melalui belas kasihan Allah, "Amazing Grace" adalah salah satu lagu yang paling terkenal di dunia.

Siapa John Newton, penulis lagu yang terkenal itu? Apa latar belakang penulisan lagu yang indah itu? Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.  Memang jauh dari sempurna, tapi setidaknya lumayan membantu.

John Newton
Newton, Pelaut dan Pedagang Budak
John Newton adalah seorang pelaut bermulut kotor, mulutnya penuh dengan makian dan sumpah serapah,  perangainya juga liar. Ia seorang pedagang budak yang tidak memiliki nurani,  membeli dan menjual manusia demi keuntungan pribadi.

Dilahirkan di Wapping, sebuah distrik di London, dekat sungai Thames. Ayahnya adalah seorang pedagang, kapten kapal  pengiriman barang yang dibesarkan sebagai Katolik tetapi simpati pada gerakan Protestan. Ibunya adalah seorang  yang Independen yang taat kepada gereja Anglikan. Ibunya berniat untuk menjadikan Newton pendeta  tetapi dia meninggal karena TBC saat Newton berusia 6 tahun. Selama beberapa tahun kemudian Newton dibesarkan oleh ibu tiri,  sementara ayahnya berada di laut. Dia menghabiskan beberapa waktu di sekolah asrama di mana ia sering dianiaya. pada usia 11 tahun, ia bergabung dengan ayahnya di kapal  sebagai magang. Karir berlayar di laut itu akan ditandai dengan ketidaktaatan dan watak keras kepala.

Dia tumbuh tanpa keyakinan agama tertentu, tetapi jalan hidupnya  dibentuk oleh berbagai tikungan. Sebagai seorang pemuda,  gaya hidup Newton sangat dekat dengan kematian disebabkan berbagai kebiasaan buruk. Ia dipengaruhi oleh temannya sekapal hingga acapkali mencela agamanya sendiri.

Pada 1744, karena ketidaktaatan ia dipaksa masuk Royal Navy, Angkatan Laut Kerajaan. Melihat situasi tak mengenakkan, ia lari dari kesatuannya tetapi tertangkap dan diseret kembali ke kapal, di sana dia dicambuk di depan umum. Kemudian Newton mengatur rencana agar dia pindah ke sebuah kapal pengangkut budak. Sejak itu, ia berlayar mengarungi lepas pantai Sierra Leone di Afrika, disana dia mengumpulkan budak yang telah ditangkap dan dibawa dari pedalaman.  Di sinilah ia memulai  karirnya  dalam perdagangan budak, tergiur akan keuntungan besar dalam bisnis itu.

Newton pernah mengatakan bahwa ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri; para budak yang sudah tidak laku dijual kemudian dibantai. Pernah ia sendiri yang membersihkan darah para budak dari lantai kapal. Selama bertahun-tahun ia menyaksikan hal yang sama.

Newton sering diejek kapten kapalnya dengan menciptakan puisi dan lagu-lagu cabul tentang dia, yang menjadi begitu populer sejak mulai bergabung. Dia sering berselisih dengan beberapa rekannya  yang berakibat nyawanya sering terancam. Pernah ia hampir mati kelaparan, dipenjarakan, sementara di laut ia dirantai seperti budak yang mereka bawa, kemudian  diperbudak dan dipaksa bekerja di perkebunan di Sierra  Leone  dekat sungai Sherbro.  di sana pun dia hampir mati oleh penyakit malaria, tersesat di rawa-rawa Afrika. Namun, tidak peduli berapa kali dia diselamatkan, Newton kambuh ke kebiasaan lamanya, terus menentang takdir agama dan mencoba untuk menghalangi orang lain dari keyakinan mereka. Dia menjelaskan, "Saya sudah sangat kewalahan dengan penderitaan dan teror, saya tahu bahwa saya bertindak salah."

Akhirnya, Newton melihat peluang untuk lari, awal 1748 ia diselamatkan oleh seorang kapten laut yang mengenal ayahnya dan bermaksud  kembali ke Inggris dengan sebuah kapal bernama "The Greyhound". Pada perjalanan panjang dan berbahaya itu, Newton tak sengaja  membaca sebuah  Alkitab yang ia temukan dalam kabin dan mulai membaca tentang kisah nabi Yunus, Tiba-tiba, "sebuah suara muncul dalam pikiran saya, bagaimana jika semua hal ini terjadi pada kami?" Ngeri membayangkan itu, lalu ia menutup buku itu.

Keesokan harinya (10 Maret 1748) kapal itu terperangkap dalam badai yang ganas. Satu orang awak kapal  tersapu  gelombang laut dan menerjang  kapal yang menyebabkan kerusakan parahhingga ia menjadi ketakutan.  Setelah beberapa jam memompa air dari kapal, dengan menangis Newton berteriak, "Tuhan kasihanilah kami!" Dia langsung terpukul dengan kata-katanya sendiri yang selama ini mencela dan menghina Tuhan. Ia menulis, "Ini spontan,  tanpa refleksi, ini pertama kali saya memohon belas kasihan Tuhan, setelah bertahun-tahun. Apakah ada kemurahan untuk saya?” “Laut telah mencabik dinding kapal di satu sisi, dan membuat kapal rusak parah hanya dalam beberapa menit," Tulis Newton.  "Melihat semua keadaan itu,  sungguh menakjubkan dan ajaib rasanya bahwa semua dari kami selamat."

Pada hari berikutnya, berjam-jam Newton merenungkan jalan hidupnya yang kacau. "Saya pikir, tidak akan pernah ada atau bisa orang berdosa seperti saya beroleh pengampunan, dosa-dosa saya terlalu besar untuk diampuni."
Lough Swilly

Selama berminggu-minggu di lautan, kapal yang rusak itu hanya berharap pada belas kasihan laut. Seluruh kru nyaris putus asa karena hampir kehabisan makanan. Dalam keputusasaan, Newton membaca kitab Perjanjian Baru...  Mencari tahu apakah Allah telah sungguh-sungguh menolak permintaannya? Akhirnya, angin reda. "Kami melihat pulau Tory dan hari berikutnya berlabuh di Lough Swilly di Irlandia. Ini adalah hari kedelapan bulan April, empat minggu setelah badai ganas menerpa.

"Ketika kami tiba di pelabuhan ini, bekal terakhir kami sedang mendidih dalam panci, dan sebelum kami berada di sana dua jam setelahnya… Saat itu saya mulai menyadari bahwa Allah telah mendengar dan menjawab doa saya… Di Irlandia kami menerima sambutan hangat dari penduduk setempat di pantai Lough Swilly.” Para tukang kayu pergi bekerja memperbaiki kapal. Sementara itu, John Newton mengunjungi kota Derry, di sana dia menghadiri kebaktian di sebuah gereja.

Bertobat
Sejak saat itu, kehidupan John Newton mulai berubah.  Kini ia menyadari bahwa kasih karunia Allah bisa menyelamatkan - bahkan - 'bajingan' seperti dia! Orang lain segera melihat perbedaan itu,  ketika dia berhenti memaki dan perilakunya berubah. Meskipun perangainya telah berubah, namun Newton masih terus bekerja dalam perdagangan budak selama 6 tahun ke depan.  Ia masih buta terhadap kejahatan-kejahatan perbudakan, oleh budaya dan oleh kepentingan diri sendiri. Mungkin itu yang menyebabkan ia menulis dalam lagunya “Amazing Grace”; I once was lost, but now am found,Was blind, but now I see.

Akhirnya ia kembali ke tanah kelahirannya di Inggris, dan mulai belajar teologi. Newton mulai bertumbuh dalam iman Kristen dan belajar dari orang lain. Dia mendengarkan pengkhotbah seperti John Wesley yang mengutuk perdagangan budak dan sejak itu, sikapnya mulai berubah secara radikal.

Dia akhirnya menjadi pendeta, ditahbiskan di Gereja Inggris pada tahun 1764, melayani pertama kali sebagai pendeta di gereja Olney - Buckinghamshire dan kemudian di London. Seringkali secara blak-blakan, Newton menyatakan, “If he (someone) loves Jesus…… I will love him – whatever name he may be called by and whatever mistakes I may think he holds……his differing from me will not always prove him to be wrong!”  Itu merupakan sebuah pemikiran yang radikal saat itu.

Newton Sang Penulis Lagu
Saat tinggal di Olney, Newton mulai menulis puisi dan himne untuk mengekspresikan cintanya kepada Allah dan mendorong orang lain dalam ibadah mereka. Lalu dia  menjadi seorang penulis himne yang sangat produktif, Dia telah menjadi seorang pria yang berubah sejak perjumpaannya dengan  ‘Amazing Grace’ dari Tuhan. Seringkali dia menggunakan lirik lagu-lagunya untuk menggambarkan khotbah-khotbahnya.

William Cowper
Pada 1767 penyair William Cowper menetap di Olney, ia dan Newton menjadi teman. Cowper membantu Newton dalam pelayanan keagamaan dan tur ke tempat-tempat lain. Mereka tidak hanya mengadakan kebaktian rutin mingguan tetapi juga memulai serangkaian pertemuan doa mingguan, mereka menulis sebuah himne baru untuk setiap satu kebaktian. Bertahun-tahun kemudian, Newton menulis lagu "Amazing Grace" yang melukiskan perjalanan hidup baru-nya yang dimulai dengan suatu keajaiban saat dia lepas dari maut. "Amazing Grace" yang memaparkan kisah perjalanan spiritualnya sendiri, ditulis untuk mengilustrasikan   khotbah-nya  pada Tahun Baru pada 1773. 

Kerjasamanya dengan Cowper menghasilkan beberapa edisi Himne Olney, yang mencapai popularitas abadi. Edisi pertama, diterbitkan pada 1779, berisi 68 lagu ciptaan Cowper dan 280 oleh Newton. Lirik "Amazing Grace" juga himne Newton yang terkenal lainnya seperti “How Sweet the name of Jesus sounds” dan “Glorious things of thee are spoken” ada dalam buku itu.

Di Amerika Serikat, lagu "Amazing Grace" mulai dinyanyikan secara luas pada masa Second Great Awakening (kebangkitan gerakan Kristen di Amerika Serikat di awal abad 19). Sejak itu lagu ini telah dinyanyikan dengan memakai lebih dari 20 melodi yang berbeda. 

LIRIK
Amazing Grace (How sweet the sound)
That sav'd a wretch like me!
I once was lost, but now am found,
Was blind, but now I see.

'Twas grace that taught my heart to fear,
And grace my fears reliev'd;
How precious did that grace appear,
The hour I first believ'd!


Thro' many dangers, toils and snare,
I have already come;
'Tis grace has brought me safe thus far,
And grace will lead me home.

The Lord has promised good to me.
His word my hope secures;
He will my shield and portion be,
As long as life endures.

Yes, when this flesh and heart shall fail,
And mortal life shall cease;
I shall profess, within the vail,
A life of joy and peace.

The earth shall soon dissolve like snow,
The sun forbear to shine;
But God, who call'd me here below,
Will be for ever mine.

Newton Dan Perjuangan Menghapus Perbudakan
Setelah merenungi kesalahannya selama ini yaitu turut terlibat dalam perdagangan manusia. Newton kemudian menolak perdagangan budak. Newton tidak hanya seorang penulis himne yang produktif tetapi juga seorang jurnalis dan menulis banyak surat tentang perdagangan budak pada abad 18. Dalam khotbah dan tulisannya acapkali ia mengutuk hal itu. Dia menyatakan perdagangan budak sebagai "Tidak bahagia dan memalukan", “Bertentangan dengan perasaan manusiawi” dan sebagai  “Noda karakter nasional kita".

William Wilberforce
Newton berteman dan membimbing seorang anggota parlemen Inggris, seorang politisi muda William Wilberforce. Ia adalah keponakan dari salah seorang teman Newton. Newton mendorong dan mendukung perjuangannya yang penuh semangat dalam menghapus  perbudakan di Kerajaan Inggris. Pada 1788, ia menulis sebuah esay yang disebut “Thoughts upon the African Slave Trade” yang mendukung kampanye anti perbudakan.

Butuh waktu 20 tahun tetapi akhirnya undang-undang pertama terhadap Perdagangan Budak Trans-Atlantik disahkan pada tahun 1807. Tak lama sebelum ia meninggal pada tahun yang sama, Newton menyatakan, "Ingatanku hampir habis, tetapi saya ingat dua hal: bahwa aku seorang pendosa besar, dan bahwa Kristus adalah Juruselamat yang hebat".

Tidak ada hubungan langsung antara lagu "Amazing Grace" dan penghapusan perbudakan di Inggris. Namun demikian, himne itu ditulis oleh seorang pria yang tergerak hati untuk angkat bicara menentang sesuatu hal yang dulu menjadi lahan keuntungannya. Dalam esainya Newton berkata: "Saya berharap ini akan selalu menjadi subyek refleksi memalukan bahwa saya pernah menjadi instrumen aktif dalam bisnis di mana hati saya sekarang bergetar...." Jadi, tampaknya pantas bahwa lagu itu telah menginspirasi begitu banyak orang - termasuk mereka yang berjuang untuk hak-hak sipil - sebuah lagu kebangsaan melawan segala bentuk ketidakadilan sosial.


By : Pdt. Anthony L Tobing
Diambil dari website http://pdtanthonytobing.blogspot.com/

"Tinggal Sertaku" (Kidung Jemaat 329)

"Tinggallah bersama-sama dengan kami, sebab hari telah menjelang malam dan matahari hampir terbenam," demikian kata Kleopas dan kawannya. (Luk 24:29)

Saya bertanya-tanya, kira-kira apa yang akan terjadi seandainya Kleopas dan kawannya tidak mengajak Yesus tinggal malam itu?



Mari kita coba melakukan sedikit perubahan skenario pada kisah ini:
... Mereka mendekati kampung yang mereka tuju, lalu Ia [Yesus] berbuat seolah-olah hendak meneruskan perjalanan-Nya.
"Sayang sekali, percakapan kita harus berhenti di sini," kata Kleopas. "Kami sudah sampai. Semoga perjalanan Anda selanjutnya menyenangkan. Maaf karena...."
"Tidak apa-apa," jawab Yesus. "Tujuan akhir saya juga sudah dekat,kok."
Maka Yesus melanjutkan perjalanan-Nya. Angin sepoi-sepoi bertiup, membawanya menghilang di kegelapan malam. Sementara itu, Kleopas dan kawannya masuk ke rumah mereka.
Masih dengan perasaan tertekan dan gusar yang dibawanya dari Yerusalem, Kleopas dan kawannya menghabiskan sisa malam itu, bahkan mungkin juga sisa hidup mereka. Bagi mereka, Yesus sudah mati selamanya dan tidak akan pernah bangkit lagi.

Tapi mari kita lihat fakta yang ditulis Lukas. Mereka sangat mendesak Yesus untuk mampir, lalu Ia tinggal bersama-sama mereka. Ketika saat makan tiba, barulah mereka sadar bahwa orang di hadapan mereka itu adalah Yesus. Semangat mereka kembali pulih. Mereka rela menempuh kembali jalan tujuh mil kembali ke Yerusalem demi mengabarkan pada teman-teman lain bahwa Yesus hidup!

Mereka yang tadinya putus asa dengan matinya Yesus, resah dengan kabar-kabar yang beredar: "kubur Yesus kosong? Yesus bangkit atau mayatnya dicuri?" kini memperoleh kembali semangat mereka. Semua berawal saat mereka mengajak Yesus untuk tinggal.

Membaca kisah ini selalu mengingatkan saya pada lagu "Tinggal Sertaku" (Kidung Jemaat 329), dan memang lagu ini diciptakan terinspirasi dari ayat di atas. Judul aslinya "Abide with Me." Coba simak lirik bahasa aslinya berikut ini:

Abide with me; fast falls the eventide;
The darkness deepens; Lord with me abide.
When other helpers fail and comforts flee,
Help of the helpless, O abide with me.

Swift to its close ebbs out life’s little day;
Earth’s joys grow dim; its glories pass away;
Change and decay in all around I see;
O Thou who changest not, abide with me.

I need Thy presence every passing hour.
What but Thy grace can foil the tempter’s power?
Who, like Thyself, my guide and stay can be?
Through cloud and sunshine, Lord, abide with me.

I fear no foe, with Thee at hand to bless;
Ills have no weight, and tears no bitterness.
Where is death’s sting? Where, grave, thy victory?
I triumph still, if Thou abide with me.

Hold Thou Thy cross before my closing eyes;
Shine through the gloom and point me to the skies.
Heaven’s morning breaks, and earth’s vain shadows flee;
In life, in death, O Lord, abide with me.

Sekilas dilihat bahwa lagu ini cocoknya dinyanyikan pada saat-saat terakhir dalam hidup seseorang; ketika seseorang sekarat dan sudah mendekati ajalnya.
Henry Francis Lyte

Kisah awal terciptanya lagu ini memang seperti itu. Adalah Henry Francis Lyte, seorang pendeta Anglikan di Inggris yang telah bertahun-tahun bertahan dari penyakittuberculosis-nya. Tahun 1847, setelah menyampaikan khotbahnya kepada jemaatnya, ia menulis lagu ini. Ia mungkin tahu, kalau tadi itu adalah khotbah terakhirnya. Esoknya, ia berangkat ke Perancis untuk memulihkan kesehatannya lalu kemudian meninggal di Nice, Perancis, tiga minggu setelah menulis lagu ini.

Lagu ini sangat lazim dinyanyikan dengan melodi "Eventide" gubahan William Henry Monk tahun 1861, yang juga sama-sama mengalami kesedihan, dimana putrinya yang berusia tiga tahun baru saja meninggal sebelum ia menggubah melodi ini.
William Henry Monk

Dua kisah kematian telah mewarnai terciptanya lagu ini. Anda mungkin berkata, "Saya sehat-sehat saja, belum sekarat. Anggota keluarga saya juga tidak ada yang berduka cita atau meninggal. Mengapa saya harus menyanyikan lagu ini?"

Anda boleh berkata seperti itu. Tapi bukan berarti kehidupan Anda secara total lepas dari permasalahan. Anda mungkin mengalami masalah dalam pekerjaan, dalam studi, dalam keluarga, masalah finansial, atau apapun itu yang membuat Anda mungkin sudah putus asa untuk menghadapinya, melalui lagu ini Anda dapat berdoa, sama seperti Kleopas dan kawannya berkata kepada Tuhan, "Tinggallah bersama kami -- Help of the helpless, O abide with me."

Ludwig van Beethoven :Pencipta Lagu Kidung Jemaat No.3 -Kami Puji Dengan Riang-


Lirik Kami Puji Dengan Riang

Syair: Joyful, Joyful, We Adore Thee, Henry van Dyke, 1907
Terjemahan: E. L. Pohan Shn., 1978
Lagu: Ludwig van Beethoven, 1824
do = g (4 ketuk)

1. Kami puji dengan riang Dikau, Allah yang besar;
Bagai bunga t'rima siang, hati kami pun mekar.
Kabut dosa dan derita, kebimbangan, t'lah lenyap.
Sumber suka yang abadi, b'ri sinarMu menyerap.
2. Kau memb'ri, Kau mengampuni, kau limpahkan rahmatMu
Sumber air hidup ria, lautan kasih dan restu.
Yang mau hidup dalam kasih Kau jadikan milikMu
Agar kami menyayangi, meneladan kasihMu.
3. Semuanya yang Kaucipta memantulkan sinarMu.
Para malak, tata surya naikkan puji bagiMu
Padang, hutan dan samud'ra, bukit, gunung dan lembah,
Margasatwa bergembira 'ngajak kami pun serta.
4. Mari kita pun memuji dengan suara menggegap,
menyanyikan kuasa kasih yang teguh serta tetap.
Kita maju dan bernyanyi, jaya walau diserang,
Ikut mengagungkan kasih dalam lagu pemenang.


Tentunya jemaat gereja sangat mengenal lagu diatas. Selain karena sering dinyanyikan di ibadah-ibadah gereja, terkadang di siaran televisi, alunan instrumental di beberapa tempat publik sering melantunkan lagu karya Ludwig Van Beethoven ini. Tetapi, banyak pula jemaat gereja yang belum mengenal siapa pencipta lagu tersebut.


Ludwig van Beethoven – Raja dari Raja Pencipta Musik

Ludwig van BeethovenRaja dari raja pencipta musik Ludwig van Beethoven lahir pada tahun 1770 di kota Bonn, Jerman. Semasa kanak-kanak sudah tampak jelas bakat musiknya yang luar biasa dan buku musik ciptaannya muncul pertama kali tahun 1783. Di usia remaja dia berkunjung ke Wina dan diperkenalkan kepada Mozart tetapi perjumpaan keduanya berlangsung singkat. Tahun 1792 Beethoven kembali ke Wina dan sebentar dia belajar musik dengan Haydn yang kala itu pencipta musik Wina kesohor (Mozart mati setahun sebelumnya). Beethoven menetap di Wina, Mekkahnya musik waktu itu, selama sisa hidupnya. Rasa musik Beethoven yang tinggi selaku pemain piano mengesankan tiap pendengamya dan dia berhasil baik selaku pemain maupun guru. Segera dia menjadi pencipta musik yang produktif juga. Karyanya dapat sambutan baik. Sejak umur pertengahan dua puluhan ke atas, dia sudah mampu menerbitkan dan menjual buku ciptaan musiknya tanpa kesulitan apa pun.

Ketika Beethoven berumur di ujung dua puluhan, tanda-tanda ketuliannya mulai tampak. Tak pelak lagi gejala ini amat merisaukan si komponis muda. Tuli buat seorang pencipta musik betul-betul suatu malapetaka. Suatu ketika timbul keinginannya mau bunuh diri saja.

Tahun-tahun antara 1802-1815 sering dianggap masa pertengahan karier Beethoven. Pada masa istirahat itu, akibat ketuliannya menghebat, dia mulai mundur dari pergaulan masyarakat. Ketunarunguannya ini membuat orang punya kesan tidak yakin bahwa Beethoven memang betul-betul anti manusia, anti masyarakat, benci bergaul. Dia terlibat dengan percintaan yang kerap dengan gadis-gadis muda tetapi tampaknya semua hubungan ini berakhir tak bahagia dan tak pernah beristeri.

Karya musik Beethoven sendiri menggila produktifnya. Tahun-tahun terus berjalan namun perhatian yang diterimanya makin lama makin susut yang mestinya populer buat seorang komponis seperti dia di jaman itu. Tetapi, kesuksesannya menanjak terus.

Pada usia empat puluhan Beethoven menjadi seratus persen pekak. Akibatnya, dia tak pernah lagi tampil di muka umum dan semakin menjauhi masyarakat. Hasil karyanya semakin sedikit dan semakin sulit di fahami. Sejak itu dia mencipta terutama buat dirinya sendiri dan beberapa pendengar yang punya ideal masa depan. Dia pernah bilang kepada seorang kritikus musik, “Ciptaanku ini bukanlah untukmu tetapi untuk masa sesudahmu.”

Ini merupakan ironi yang kejam dari sebuah nasib bahwa seorang komponis paling berbakat sepanjang jaman harus tertimpa musibah ketulian semacam itu. Kalau saja Beethoven dengan kekuatan tekad non-manusiawi — dalam ketuliannya itu– terus tetap menjaga mutu komposisi musiknya, ini akan merupakan hal yang memukau dan brilian. Tetapi, kenyataan lebih mengherankan lagi ketimbang yang dibayangkan dalam masa tahun-tahun ketulian totalnya, Beethoven melakukan ciptaan tidak sekedar setarap dengan apa yang dihasilkan sebelumnya, melainkan umumnya dianggap merupakan hasil karya terbesarnya. Dia meninggal di Wina tahun 1827 pada usia lima puluh tujuh tahun.

Karya Beethoven yang banyak itu termasuk 9 simfoni, 32 sonata piano, 5 piano concerto, 10 sonata untuk piano dan biola, serangkaian kuartet gesek yang menakjubkan, musik vokal, musik teater, dan banyak lagi. Tetapi, yang lebih penting dari jumlah ciptaannya adalah segi kualitasnya. Karyanya merupakan kombinasi luar biasa dari kedalaman perasaan dengan kesempurnaan tata rencana. Beethoven memperagakan bahwa musik instrumental tak bisa lagi dianggap cuma punya nilai seni nomor dua. Ini dibuktikan dari komposisi yang disusunnya yang telah mengangkat musik instrumental itu ke tingkat nilai seni yang amat tinggi.

Beethoven benar-benar seorang pencipta orisinal yang jempolan dan banyak perubahan-perubahan yang dilakukan dan diperkenalkannya mempunyai pengaruh yang abadi. Dia memperluas ukuran sebuah orkestra. Dia menambah panjangnya simfoni dan memperluas daya jangkaunya. Dengan mendemonstrasikan kemungkinan yang hampir tak terbatas yang bisa dihasilkan oleh piano, dia membantu menjadikan piano itu instrumen musik yang paling terkemuka. Beethoven membuka babak transisi dari musik klasik ke musik bergaya romantik dan karyanya merupakan sumber ilham untuk gaya romantik.

Dia menanamkan daya pengaruh yang menghunjam pada diri komponis-komponis yang muncul belakangan, termasuk tokoh-tokoh yang memiliki gaya berbeda seperti Brahms, Wagner, Schubert dan Tchaikovsky. Dia juga merintis jalan buat Berlioz, Gustav Mahler, Richard Strauss dan banyak lagi lainnya.

Nyata benar, Beethoven mesti ditempatkan di atas musikus mana pun dalam daftar urutan buku ini. Meski Johann Sebastian Bach nyaris punya keistimewaan setara, karya Beethoven lebih luas dan lebih sering didengar ketimbang ciptaan Bach. Lebih dari itu, sejumlah penyempurnaan yang dilakukan Beethoven lebih punya pengaruh mendalam terhadap perkembangan musik selanjutnya ketimbang hasil karya Bach.

Secara umum, ide etik dan politik lebih gampang dijabarkan dengan kata-kata daripada musik dan kesusasteraan. Punya ruang lingkup pengaruh yang lebih luas dari pada musik. Atas dasar pertimbangan inilah Beethoven –meski tokoh jempolan dalam sejarah musik– ditempatkan dalam urutan lebih rendah ketimbang Shakespeare. Dalam hal membandingkan antara Beethoven dan Michelangelo, saya amat terpengaruh dengan kenyataan bahwa umumnya orang lebih banyak gunakan waktu mendengarkan musik daripada memandang lukisan atau patung pahatan, dan atas dasar alasan ini pula saya pikir komponis-komponis musik umumnya lebih berpengaruh dibanding pelukis atau pemahat yang kemasyhurannya dalam lapangan masing-masing setara. Walhasil, tampaknya cukup layak menempatkan Beethoven pada urutan antara Shakespeare dan Michelangelo.



Sedikit Pelajaran dari Kehidupan Ludwig Van Beethoven

“Bagiku tak ada hal yang lebih menggembirakan selain bertemu dengan Allah lalu sesudah itu memantulkan cahaya wajah-Nya kepada orang lain”, demikian tulis Beethoven tentang perasaannya setiap kali ia mengurung diri dan menghasilkan sebuah karya musik
Ludwig van Beethoven (1770-1827) memang telah memantulkan cahaya Tuhan dalam bentuk karya musik yang terus abadi hingga kini. Ia telah mengarang ratusan simfoni, kuartet, sonata, variasi, fidelio, kantata dan banyak lagu gereja serta lagu umum.
Ia mulai belajar piano pada usia empat tahun dari ayahnya yang keras dan kejam. Pada usia duabelas tahun ia sudah menjadi organis gereja di Koln dan mengarang karyanya yang pertama berupa tiga sonata untuk piano forte.
Begitulah jalan hidup Beethoven selanjutnya. Sebagai seorang yang tetap membujang seumur hidup, setiap hari ia mengarang karya musik. Tiap kali mencari ilham ia mengurung dirinya sampai berhari-hari. Santapannya sering kali menjadi basi karena ia lupa makan. Lalu setiap kali ia berhasil menyelesaikan sebuah karangan, ia keluar ruangan dengan rasa girang. Ia merasa telah melihat wajah Tuhan. Ia merasa telah melihat cahaya ilahi, dan ia ingin memantulkan cahaya itu kepada orang lain, melalui karya musiknya. Ia merasa seolah-olah wajahnya bercahaya seperti Musa yang wajahnya sampai harus diselubungi, ketika “kulit mukanya bercahaya oleh karena ia telah berbicara dengan Tuhan”. (Keluaran 34:29-35).
Spiritualitas Beethoven berbuah dalam bentuk karya musik. Tulisnya, “Tujuanku adalah menghadirkan kemuliaan Tuhan dan menggetarkan kalbu para pemusik yang melantunkan lagu-lagu ini serta para pendengarnya.”
Tetapi jangan mengira bahwa ilham ilahi membebaskan, Beethoven dari jerih payah dan derita. Dulu, ketika belajar piano sebagai anak balita, ia sering berlatih piano berjam-jam lamanya sambil menangis; sebab tiap kali ia membuat kesalahan ia dipukul oleh ayahnya. Kemudian hari ketika sudah dewasa, Beethoven bahkan duduk di depan piano sampai berhari-hari untuk menyelesaikan karangannya. Bakat karunia Tuhan hanya berkembang jika disertai kerja keras orang yang bersangkutan. Tuhan mengembangkan orang yang mau mengembangkan dirinya sendiri.
Sepanjang hidupnya Beethoven, juga menderita akibat rupa-rupa penyakit. Yang paling menyedihkan adalah gangguan pendengarannya. Telinga adalah anggota tubuh yang paling dipakai oleh Beethoven dalam karyanya. Akibatnya, telinganya cepat rusak. Pada usia 28 tahun, pendengarannya mulai berkurang. Kian lama kian parah. Ia memimpin konser padahal ia sendiri tidak bisa mendengarnya. Pada usia 44 tahun, ia menjadi benar-benar tuli. Sejak itu, ia tidak tampil lagi di panggung. Ia berkarya di rumah. Selain itu, ia juga menderita beberapa penyakit lain. Ketika menyanyikan lagu “Kami Puji Dengan Riang”, dari Kidung Jemaat no.3, tidak banyak orang tahu bahwa lagu itu diciptakan oleh Beethoven yang sudah tuli total dan sakit-sakitan, pada usia 54 tahun.
Beethoven juga menderita kesulitan keuangan. Memang ia mengarang banyak karya musik, namun ia miskin. Ia sering menggadai barang untuk menyambung hidup. Ia menulis, “Meskipun karanganku banyak diterbitkan, namun aku tidak bisa hidup dari karanganku.” Pernah ia diminta oleh raja untuk mengarang namun ia tidak dibayar. Lalu ia menulis surat kepada Goethe, “Aku mohon bantuan Anda untuk menyebut karanganku kalau bertemu baginda, supaya beliau ingat untuk membayarku. Pikiranku memang melayang tinggi pada keagungan ilahi, namun aku juga terpaksa memikirkan ongkos hidupku. Anda tahu bahwa aku mengarang bukan untuk mencari uang, namun aku perlu biaya untuk berobat.”
Dunia baru mengetahui kepahitan hidup Beethoven setelah surat-suratnya dipublikasikan dalam buku Beethoven – Letters, Journals & Conversations; suntingan Michael Hamburger dan biografi Beethoven karangan Maynard Solomon.
Masa lanjut usia Beethoven sepi. Ia memang lebih suka menyendiri untuk mengarang dari pada bergaul dengan orang-orang. Pada usia 57 tahun, kesehatan Beethoven sangat menurun, setelah ia keluar masuk rumah sakit untuk pembedahan. Ia terkapar lemah di ranjang ketika menerima sakramen terakhir. Pada petang itu, halilintar menyambar-nyambar dan menggelegar. Semua orang di ruangan itu sebentar-sebentar terkejut dan menutup telinga karena guntur menggeledek. Tetapi, Beethoven yang sudah tuli itu sama sekali tidak terganggu. Ia tenang. Ia tampak tersenyum. Ia tidak mendengarkan apa-apa. Atau, mungkin ia justru sedang mendengar sesuatu yang lain. Mungkin ia sedang mendengarkan paduan suara malaikat yang menyanyikan sebuah lagu ciptaannya untuk menyambut dia di pintu Surga.
Diambil dari Website :  Seksi Musik HKBP Rajawali